BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Secara umum munculnya peradaban dan kebudayaan Islam
telah muncul sejak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami perkembangan
pada masa dinasti Umayah (661-750 M) dan mengalami puncak kejayaan pada masa
dinasti Abasiyah (750 s.d Pertengahan Abad ke-11 M).
Akan tetapi di kemudian hari persoalan-persoalan politik
muncul dan terjadi perselisihan sehingga menyebabkan keruntuhan Dinasti
Abasiyah. Hal ini memicu banyak dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad dan
sesuai dengan kebangsaan masing-masing mendirikan sebuah Dinasti baru yang
Independen. Selain itu banyak dinasti-dinasti kecil berpeluang untuk
berkembang. Misalnya : Dinasti Fatimiyah, Dinasti Ayyubiah dan Dinasti Mamluk.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Fatimiyah ?
2.
Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Ayyubiah ?
3.
Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Mamluk ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DINASTI FATIMIYAH
Kelahiran Daulah Fatimiyah bermula dari gerakan keagamaan
yang dikembangkan oleh kelompok Syi’ah Ismailiyah. Setelah Imam Ismail Wafat
pada tahun 762 M kelompok ini melakukan misi politis melaui gerakan bawah tanah
untuk menghindari pemberangusan kelompok Syi’ah oleh Daulah Abbasiyah.[1]
Imam Muhammad al-Mahdi
sebagai pengantinya memutuskan menyembunyikan keberadaannya dan seluruh
keturunannya serta mengutus para Da’i untuk menyebar luaskan faham Syi’ah. Sehingga mereka dapat menakhlukan
Afrika Utara dan mendirikan Daulah Fatimiyah hal ini juga di dorong runtuhnya
Daulah Aglabiyah oleh Abu Abdullah. Di Riqadah ibu kota Daulah Fatimiyyah yang
dahulunya ibu kota Daulah Aglabiyah, pertama kali Daulah Fatimiyah
memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka yang Independen dengan khalifah
pertamanya Ubaidillah al-Mahdi.
1).
Abu
Abdillah (909-910 M)
Sebenarnya Daulah Fatimiyah telah berdiri satu tahun
sebelum kedatangan Ubaidillah al-Mahdi ke Riqodah. Selama satu tahun tersebut
Daullah Fatimiyah dipimpin oleh Abu Abdillah dengan gelar Sayidiyah. Untuk
menghormati al-Mahdi. Dalam setiap kesempatan Abu Abdillah selalu menyampaikan
akan datangnya al-Mahdi contohnya dengan membuat mata uang dengan tulisan “Balaghot Hujjatullah”[2]
dan “Tafarrugi A’daillah”[3]
yang dikenal dengan mata uang Sayyidiyyah.
Mata uang ini tidak hanya digunakan untuk menganti mata uang yang lama tetapi
juga untuk mengumumkan bahwa di Afrika Utara telah berdiri dinasti baru.
2).
Ubaidillah
al-Mahdi (910-934 M)
Nama aslinya adalah Said bin Husein as-Salmiyah mengaku
putra al-Habib , cucu Imam Ismail. Ia lahir di Mukrom tahun 873/874 M dan ia
menjadi khalifah pada usia ±36 tahun. Di awal pemerintahannya ia
mendeklarasikan diri sebagai Imam sekaligus Amirul Mukmin dan ia berjanji untuk
bersikap adil tapi tegas terhadap siapapun yang berkhianat. Janji-janji
tersebut di buktikan dalam membentuk kabinet pemerintahannya dengan mengangkat
orang-orang Syi’ah dan Barbar Kitami serta orang-orang Arab yang pernah
menjabat saat Daulah Aghlabiyah. Namun keputusan tersebut menimbulkan ketidak
sukaan dikalangan para Da’i. Selain itu Ubaidillah juga dianggap otoriter dalam
penggunaan harta Negara sehingga memicu gerakan meragukan kesahihan Ubaidillah
sebagai Al-Mahdi namun semua itu dapat teratasi. Selama kepemimpinannya Ubaidillah
mampu menjadikan Daulah fatimiyah sebagai kerajaan yang bedaulat dan ditakuti oleh
kerajaan-kerajaan di sekitarnya serta membangun peradaban dan identitas yang
berbeda dengan dinasti-dinasti sebelumnya, yaitu berupa: Mahkota yang khas,
Mudhillah, cincin turun temurun, genderang dan tabuh-tabuhan.
3). Al-Qaim
Muhammad Abu Al-Qasim (934-946 M)
Dalam dua belas tahun
kepemimpinan tidak banyak pencapaian yang di perolehnya karena Al-Qaim terlalu
larut dalam kesedihan sepeninggal ayahnya dan ia hanya mengurung diri di istana
tepatnya di Mahdiyah. Meski demikian pada masa awal pemerintahannya al-Qaim
berusaha memperluas kekuasaan sampai di wilayah Afrika dan membuat pedang dan
peralatan perang. Namun sayang usahanya tersebut gagal untuk yang ketiga
kalinya. Pada tahun 935 ia juga berhasil menumpas perlawanan Abu Yasid seorang
pemimpin Daulah Khorijiah tetapi di kemudian hari Abu Yasid dapat melarikan
diri.
4). Al-Mansur
Ismail Abu Tohir (946-953 M)
Nama aslinya adalah Ismail, ia lahir di Qairuwan April
914 M. Sejak remaja ia mengalami cobaan besar karena sebagai putra mahkota ia
harus dipingit. Setelah naik tahta dia memerintahkan mengirim kapal yang penuh
makanan dan peralatan perang ke Sues yang saat itu sedang di kepung tentara Abu
Yazid. Dalam menumpas perlawanan Abu Yazid, al-Mansur berulang kali gagal
karena setiap kali tertangkap Abu Yazid dapat melarikan diri. Pada akhir
Agustus 947 M, di puncak gunung Kinaah Abu Yasid dan pasukannya dapat dikepung
agar seorang pun tidak bias lolos maka tempat perkemahannya dibakar. Tetapi
tetap saja Abu Yazid dapat lolos namun masih bisa dikejar dan akhirnya
diperjalanan ia meninggal karena luka parah. Pada bulan September 945 M ibu
kota Fatimiyah dipindah dari Mahdiyah ke Mansyuriyah dan dijadikan pusat
perdagangan yang secara tidak langsung membuat Dinasti Fatimiyah semakin
tersohor.
5). Al-Muiz
Lidinillah (953-975 M)
Al-Muiz naik tahta pada usia
belum genap 22 tahun. Pada masa pemerintahannya ia lebih berkonsentrasi dalam
penakhlukan Mesir sesuai cita-cita Dinasti Fatimiyah sejak masa al-Mahdi. Untuk
itu ia mempercayakan hal tersebut kepada Jauhar al-Shiqilli. Dua puluh empat
dinar dan lebih dari 1000 tentara disiapkan. Pada 26 Juni 969, Jauhar masu ke
kota Fustat dan menundukannya dengan damai tanpa pertumpahan darah. Langkah
selanjutnya Jauhar menempatkan pusat kekuasaan di sebelah utara Fustat tepatna
di kota Kairo dan mengangkat kembali para pejabat pada masa Ikhsidiyah. Al-Muiz
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan Jauhar seagai pemegang mandate di
Kairo sangat memperhatikan pendidikan dan kebudayaan sehingga didirikanlah
Masjid Al-Azhar pada tahun 970 M yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat
ibadah tetapi juga pusat pendidikan.
6). Al-Aziz
Billah Nizar (975-996 M)
Nama lainnya adalah Abu Mansur
Nizar al-Aziz pada masa ini Daulah Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya
walaupun tidak mampu menengelamkan nama besar Daulah Abbasiah. Al-Aziz tak
tanggung-tanggung ia mengalokasikan dana dua puluh juta dinar untuk meembangun
Istana yang megah, ia juga mengembangkan masjid Al-Azhar sebagai Universitas,
membangun pasar dengan 20.000 toko, membangun kanal-kanal guna mengairi tanah
pertanian, jembatan untuk mempermudah pemindahan barang dan orang, mendorong
masarakat untuk menghasilkan produk industri dan seni, serta membangun
kerukunan antar umat beragama.
7). Al-Hakim
Biamrillah (996-1021 M)
Al-Hakim diangkat menjadi khalifah
pada usia 11 tahun kekuasaannya dibantu oleh para wasir. Pada masa kekuasaannya
dia membangun Dar al-Hikmah[4], Dar al-Ilm[5] dan juga muncul
Ibnu Yunus (958-1009) seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat
ukur waktu (Zij al-Alibar al-Hakimi).
Namun Al-Hakim juga dinilai penyebab runtuhnya Daulah Fatimiyah karena
kebijakan-kebijakannya yang kejam dan tidak toleran. Ia membunuh para wasir dan
menghancurkan beberapa gereja, kuburan suci umat Kristen serta membatasi agama
lain dengan aturan bahwa Non-Muslim hanya boleh menunggang keledai dan
diwajibkan menandai dirinya dengan memakai jubah hitam dan kalung salib bagi
umat Nasrani serta tenggala berlonceng untuk orang Yahudi.
8). Al-Zhahir
Ismail Abu Al-Mansur (1020-1035 M)
Khalifah Al-Zhahir mencoba membangun kembali
toleransi yang terkoyak. Namun usahanya sia-sia karena semakin hari kekacauan
dan pertikaian antar elemen pasukan Barbar, Turki dan Pasundan semakin parah.
Bahkan Bencana kelaparan terjadi hampir tujuh tahun. Akhirna, Khalifah al-Adhid
(1160-1171 M) yang naik tahta pada usia sembilan tahun diturunkan paksa oleh
Shalahuddin al-Ayyubi dan inilah akhir dari Daulah Fatimiyah.
Peradaban
pada Masa Dinasti Fatimiyah
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah
telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan
Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu :
a). Kemajuan
dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan
negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b).
Kemajuan
di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c).
Dalam
bidang pengetahuan dengan dibangunnya Dar al-Hikmah (Hall of Science) dan Universitas Al–Azhar.
Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini
didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar
diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi
Thalib, imam pertama Syi’ah.
d). Di
bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e). Di
bidang keamanan.
B.
DINASTI
AYYUBIYAH
1).
Salahudin
Yusuf bin Ayyub (1174-1193 M)
Keberhasilan saladin membuat
namanya tersohor di tengah-tengah bangsa Mesir. Orang-orang Mesir Syiah dan
Turkomans Sunni bersatu dan memandangnya sebagai Champion (juara). Setelah wafatnya
Nur al-Din, Saladin menjadi orang terpenting dan dapat mempersatukan Mesir dan
Syiria, Mesopotamia dan Yaman, orang-orang Kurd dan Turkoman juga ikut
bergabung dengan pasukan perang Saladin. Saladin mendirikan benteng Cairo
sebagai pusat pemerintahan dan kubu militer yang sanggup menangkis
serangan-serangan dari luar. Ia juga berencana menghubungkannya dengan
perbentengan Cairo kuno pada Zaman Fatimiyah. Namun sayang rencana ini baru
dapat diselesaikan setelah Saladin Wafat.
Periode Palestina (1186-1193 M)
digunakan seluruhnya untuk perang suci melawan orang-orang Salib. Ketika
Reginald, menguasai benteng karak yang dapat ditahan serangan di pantai Hijaz,
mengepung kapal-kapal jama’ah haji muslim dan bermaksud untuk menghancurkan
ka’bah lalu armada mesir memburunya sehingga terjadi perjanjian damai antar
keduana. Akan tetapi Reginald mengingkari janji dengan menerang kafilah-kafilah
pedagang yang melewati dekat Bentengnya. Maka Saladin menyerang mereka dan
menghancurkan pasukan Salib di Hittin dekat Tiberias tahun 1187 M. Kemudian
Saladin dapat menguasai Palestina, Acre (Akka), Nablus, Ramleh, Caesaria,
Jaffa, Ascolon, Beirut dan Jerussalem.
Dengan memimpin 100.000 orang
Fedrik Barborosa dari Jerman berjalan menuju Palestina menembus Asia Minor
namun beberapa pasukaannya tenggelam diperjalanan sehingga jumlah pasukannya
berkurang. Pasukan-pasukan salib Acre dibantu oleh pasukan-pasukan Philip II,
Rajs Perancis dan Ricard dari Inggris yang merampas pulau Cyprus dalam
perjalananna. Perang Salib ketiga ini menjadi kegagalan kembali karena terjadi
perselisihan antara pemimpin-pemimpin orang Salib. Philip II meninggalkan
Richard untuk melanjutkan peperangan melawan umat Islam. Melihat semangat dan
keberanian Richard para musuh kagum dan memberinya gelar “The Lion Heart”.
Akhir dari perang suci ini adalah Perjanjian Ramleh pada tahun 1192 yang isinya
sebagai berikut:
a).
Jerusalem
tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan
ibadah haji di tanah suci.
b).
Orang-orang
Salib akan mempertahankan partai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
c).
Umat
Islam akan mengembalikan relics Kristen kepada umat Kristen.
Sebelum perang di Hittin tahun
1187 M tidak ada satu inchi pun dari Palestina sebelah barat Yordan yang
menjadi bagian dari kekuasaan Khalifah umat Islam. Setelah perjanjian Ramleh
seluruh daerah merupakan wilayah kekuasaan umat Islam kecuali jalur sempit
pantai dari Tyre sampai ke Jaffa.[6]
2). Al-Adil
I Ahmad bin Ayyub (1199-1218 M)
Adil adalah saudara Saladin.
Setelah terjadinya perang Salib ketiga,orang-orang Salib menyadari bahwa Mesir
adalah bagian yang sangat penting dari negara-negara Arab untuk memudahkan
jatuhnya Palestina ketangan mereka. Sehingga Raja Palestina (Jeans di Brienne)
bersekongkol dengan Jerman dan pasukan Salib lainnya untuk menyerang Dinasti
Ayyubiyah. Strategi mereka di mulai dari menduduki Daimeta yang merupakan
tempat paling strategis untuk bertahan karena dibentengi dengan tembok rangkap
tiga dan dikelilingi oleh air sungai Nil yang merupakan benteng alami, selain
itu ditengah pulau terdapat menara besar. Dengan serbuan yang sangat ganas umat
Islam di paksa untuk menyerah pada tahun 1218 sehingga Daimeta jatuh ketangan
orang-orang Salib. Pada Tahun yang sama al-Adil wafat beerapa orang berpendapat
bahwa hal ini berkaitan dengan penderitaannya yang mendalam akan hilangnya
Daimeta dan benteng pertahanan.
3). Al-Kamil
I Muhammad bin Ahmad (1218-1238 M)
Al-Kamil diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir
orang-orang Salib dari Daimeta. Langkah awalnya adalah dengan mengirim tentara
ke sungai Nil untuk menghalangi kapal
orang-orang Salib namun sayang tentaranya dapat dimusnahkan musuh, lalu ia juga
menenggelamkan kapal-kapal untuk memblokir pelayaran mereka tetapi tetap saja
tidak membuahkan hasil. Permasalahan ini memaksa al-Kamil untuk meminta
perjanjian damai dengan menawarkan Kerajaan Jerusalem sebagai ganti Daimeta.
Namun permintaannya ditolak oleh orang-orang Salib.
Lalu ia dengan strategi barunya
mendirikan perbentengan kuat di sebelah selatan Daimeta yang akhirnya menjadi
kota Mansurah. Angkatan perang orang-orang Salib terkena bencana banjir dari
sungai Nil, demam dan kelaparan menimpa mereka. Sedangkan pasukan-pasukan
Sultan Ayubiyah sudah mengepung mereka dari berbagai penjuru. Dengan terpaksa
orang-orang Salib menyerah dan meninggalkan Daimeta sebagai perjanjian
perdamaian.
Sultan Ayubiyah Kamil mengalami
konflik dengan saudaranya al-M’azzam pemimpin Damascus. Ia merasa bahwa al-Mu’azzam
adalah musuh hebat yang ingin memecatnya dari singgasananya. Maka ia bersekutu dengan
Frederick dengan menawarkan Kerajaan Jerussalem sebagai imbalan atas
bantuaannya. Pada waktu itu Al-Mu’azzam meninggal dunia dan pengertian timbal
balik antar dua Raja membawa kepada perjanjian pada tahun 1229 M, yang isinya
sebagai berikut:
a)
Jerussalem
bersama dengan Bethlehem, Nazaret dan route haji ke Jaffa dan Acre akan menjadi
kekuasaan absolute kaisar dengan perkecualian bahwa area suci umat Islam di
Jerussalem memagari masjid Umar akan menjadi milik terbatas bagi umat Islam.
b)
Tawanan-tawanan
Kristen harus di bebaskan.
c)
Kaisar
harus melindungi Sultan dari serangan musuh-musuhnya.
d)
Perjanjian
ini berlaku selama 2 tahun.
Perjanjian ini menimbulkan
amarah bagi umat Islam dan umat Kristen karena Kota Suci sudah hilang dari
tangan umat Islam dan Kerajaan Latin Kuno disebelah utara Syiria masih berada
di tangan umat Islam. Meski demikian perjanjian tersebut dilakukan dengan jujur
oleh kedua belah pihak. Setelah perjanjian tersebut selesai Kamil mengangkat
saudaranya al-Ashraf sebagai raja di Damascus dan setelah wafatnya al-Ashraf
seluruh Mesir dibawah kekuasaan Kamil. Dia mengembangkan sistem Irigasi,
memperluas terusan-terusan, mendirikan benteng Cairo, mendirikan Dairul Hadits,
sekolah tinggi Kamiliyah, mendirikan tanggul-tanggul dan dam untuk meyakinkan
keselamatan para plancong sehingga Mesir mengalami Kemajuan yang sangat pesat. Ibn
Khlallikan member gambaran tentang dia, “al-Kamil mencintai Ilmu pengetahuan
masyarakat sarjana, dia adalah seorang muslim bijaksana, soleh dan merupakan
pelindung besar bagi para sarjana”.[7]
4). Al-Adil
II Muhammad bin Muhamad (1238-1240 M)
Setelah Kamil wafat pada tahun 1238 M, pemuka-pemuka
Dinasti Ayyubiyah mengangkat anakna, Abu Bakar sebagai raja dengan gelar Adil
II namun saudaranya Salih Ayub menentang keputusan tersebut, sehingga
terjadilah perebutan kekuasaan antar keduanya. Pemerintahan Adill II hampir
tidak ada 3 tahun karena budak-budaknya bersekongkol dengan Salih Ayyub untuk
melakukan pemberontakan.
5). Malik
Saleh Najmuddin Ayyub bin Muhammad (1240-1249 M)
Selama pemerintahan Salih
Ayyub, Louis IX Raja Perancis, mengirimkan ekspedisi perang suci ke Mesir dan
berhasil menundukan Daimeta, serta menempatkan tentaranya sejauh 4 mil dari
Mansurah untuk merampas Istana. Pada saat itu Salih Ayyub sedang sakit tetapi
tidak mempengruhi semangat para pasukannya utuk mempertahankan Istana. Pasukan
Mamluk Babar yang sudah dilatih Sultan mengejar musuh dengan hati-hati melalui
lorong-lorong kota Mansurah, jendela-jendela, atap-atap rumah yang sudah
ditempati pemanah menyebabkan kekalahan total tentara Louis IX. Ketika para
Mamluk menuju ke Mansurah Sultan Salih Ayyub wafat dan isterinya Syajar al-Durr
menyembunyikan berita kematian Sultan agar pasukannya tidak terpengaruh
semangatnya dalam perang. Syajar al-Durr dan pegawai-pegawai pemerintahan
mengatur negara dengan mengatas namakan “Pemimpin
yang Sakit”.
6).
Muassham
Tauran bin Saleh (1249-1249)
Turan Shah adalah anak tertua Salih Ayyub dan putra
Mahkota yang dipersiapkan sebagai Raja berikutnya. Pada saat ayahnya meninggal
ia sedang berada di benteng Kiva di Diyar Bark. Ia merampas 21 perahu Perancis,
menerap amunisi-amunisi dan perlengkapan perang karena pasukan perang suci dan
pasukan Perancis telah dikalahkan. Louis dipaksa mundur ke Daimeta dan Dia
menawarkan untuk menyerahkan Daimeta dengan ganti Kerajaan Jerussalem, janji
yang sama sudah ditawarkan oleh Sultan Kamil 30 tahun silam namun kini umat
Islam menolak tawaran tersebut. Kemudian Louis dan pasukannya mundur tapi
diburu oleh pasukan Islam sehinnga Louis dan pasukannya dapat tertangkap. Louis
tidak lama dibebaskan setelah memsbuat jaminan untuk menyerahkan Daimeta dan
membayar tebusan 100.000 potong Emas.[8]
Setelah Turan Shah tiba di Istana untuk berkuasa, ia
dibunuh oleh pengikut Syajar al-Durr[9].
Syajar al-Durr merupakan seorang budak belian yang berasal dari Turki yang
berambisi untuk menjadi Penguasa di Mesir dan menganti mengangkat derajat budak
belian (Mamluk).
7).
Syajaratud
Dur Dayang Malik Saleh (1250 M)
Atas dukungan pemuka-pemuka Mamluk, Syajar dapat
berkuasa penuh sebagai Sultan selama 80 hari. Kekuasaannya berakhir dengan
adanya teguran dari Khalifah Abasiyah di Baghdad bahwa yang memerintah di Mesir
harus seorang pria bukan wanita. Akhirnya dengan berat hati Syajar memenuhi
perintah tersebut agar dapat memerintah di balik layar dan memutuskan untuk
menikah dengan Izzudi Aybak seorang panglima tertinggi angkatan perang Mesir
yang merupakan salah seorang Mamluk almarhum suaminya. Dengan adanya
pemerintahan Syajar secara tidak langsung merupakan proses beralihnya Daulah
Ayyubiyah menjadi Daulah Mamluk.
Peradaban
pada Masa Dinasti Ayyubiyah
a). Bidang
Arsitektur dan Pendidikan, penguasa Ayyubiyah telah berhasil menjadikan
Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah
al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam
sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar al Hadist al-Kamillah juga dibangun
(1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok hukum yang secara umum terdapat
diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam bidang arsitek dapat dilihat
pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta
istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
b). Bidang
Filsafat dan Keilmuan, bukti konkritnya adalah Adelasd of Bath yang
telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri,
penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran ini telah didirikan sebuah
rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
c). Bidang Industri, dibuatnya kincir oleh seorang Syiria
yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik
kain dan pabrik gelas.
d). Bidang
Perdagangan, bidang ini membawa pengaruh
bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa terdapat
perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan
internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan perdagangan
sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit (LC),
bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
e). Bidang
Militer, selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan
sebagainya, ia juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam
peperangan. Disamping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif,
keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan
adanya irigasi.
C.
DINASTI
MAMLUK
Kata
Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar
menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Pada Mamluk Dinasti Ayyubiyah berasal
dari Asia Kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana).
Mereka terdiri atas suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan
bagian kecil dari bangsa Eropa.Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua priode
berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahriyah[10]
(1250-1389 M), yakni yang berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol,
dan Kurdi. Golongan Kedua dinamakan Mamluk Burji/Barjiyah[11]
(1389-1517 M), yakni yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus.
Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti
Mamluk.[12]
MAMLUK BAHRI (1250-1389
M)
1).
Syajar
al-Durr (1250 M)
Berdirinya Dinasti Mamluk
berawal dari ambisi seorang mamluk wanita yang bernama Syajar al-Durr akni istri Sultan Salih untuk menjadi seorang
Sultan dengan menggunakan berbagai macam konspirasi. Dia tercatat sebagai
satu-satunya penguasa wanita muslim dikawasan Afrika Utara dan Asia Barat,
sekaligus diabadikan namanya dalam kepingan mata uang dan shalat Jum’at.
Dalam pemerintahannya Syajar
selalu memberi semangat kepada panglima-panglima pemerintahan dengan memberi
mereka tanah-tanah pinjaman dan mengurangi pajak-pajak untuk mengambil hati
rakatnya. Kecakapannya yang luar biasa tersebut membuktikan bahwa seorang
wanita dapat memikul tanggung jawab Negara meskipun tradisi-tradisi Islam tidak
mendukung prinsip seperti ini. Sehingga Ia memutuskan menikah dengan Izzudin
Aybak.
2).
Izzudin
Aybak (1250-1257 M)
Ketika Aybak menjadi Sultan terdapat
kekacauan sebagai akibat dari persaingan para mamluk. Al-Malik al-Nasir
(pemimpin Syria) menggunakan kesempatan ini dan berjalan dari Damascus dengan
memimpin pasukannya. Namun tentaranya kalah sehingga Syiria dan Mesir dapat
dipersatukan. Walau demikian, Aybak menimbulkan kemarahan pada diri Syajar
al-Durr dengan meminang seorang pemimpin perempuan dari Mosul. Syajar al-Durr
membentuk konspirasi untuk melawan dan membunuhnya pada tahun 1257 M.
3).
Nur
al-Din ‘Ali bin Aybak (1257-1258 M)
Setelah menggantikan ayahnya
Nur al-Din membujuk budak belian wanita untuk balas dendam atas kematian
ayahnya dengan membunuh Syajar al-Durr. Pada tahun 1258 M, kekalifahan Abbasiah
dihapuskan, Baghdad di hancurkan oleh orang-orang Mongol dibawah pimpinan
Hulagu dan khalifah Abbasiyah terakhir dibunuh. Ketika berita ini sampai ke
Baghdad, doctor-doktor ahli ilmu ketuhanan dan hokum (ulama) serta
panglima-panglima pasukan mengadakan rapat yang didalamnya memutuskan untuk
membatalkan sumpah setia mereka kepada Nur al-Din dan memproklamirkan seorang
Mamluk bernama Qutuz sebagai sultan Mesir.[13]
4).
Al-Muzhafir
Syaifuddin Quthuz (1258-1259 M)
Dengan Sultan baru ini Dinasti
mamluk mulai mengalami kemajuan dengan mengalahkan sang penakluk bangsa Mongol
yakni Hulagu didalam peperangan terkenal Ain Jalutu pada tanggal 3 September
1260 M, Kemenangan ini berkat seorang panglima Mamluk, Baybars yang mengawasi
gerak-gerik bangsa Mongol yang akhirnya Baybars menjadi Sultan Mesir .
Perang ini merupakan peristiwa
besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil
dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongol. Mereka berhasil menghancurkan
mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan. Setelah
kemenangan ini, nilai tambah terhadap Dinati Mamluk adalah bersatunya kembali
Mesir dan Syam dibawah naungan Sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan pada
masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi.[14]
5).
Az-Zahahir
Baybars Al-Bandakdari (1259-1277 M)
Setelah Baybars naik tahta
Dinaasti Mamluk semakin kuat, bahkan Baybars memerintah selama 17 tahun.
Kejayaan yang di raih Baybars adalah memporak porandakan tentara Salib di
sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia[15], serta menghidupkan kembali
kekhalifahan Abbasiah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan. Selain itu Baybars
juga bertujuan mebuat pemerintahan dengan system hereditary (turun-temurun) dengan memproklamirkan anaknya al Sa’id
sebagai Putra Mahkota dan menikahkannya dengan anak perempuan Qalawun, Panglima
Besar Mamluk. Orang-orang Mamluk tidak suka dengan system hereditary karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seorang pun
yang mempunyai prioritas diatas yang lainnya kecuali dia memiliki kecakapan
militer. Ketika Malik al-Sa’id (1277-1290 M) turun tahta dan digantikan oleh
saudaranya ‘Adil Badruddin bin Baybars (1290-1294 M), Qalawun menggulingkannya
sehingga kesultanan dipindahkan dari keluarga Baybars ke keluarga Qalawun.
6).
Al-Mansur
Sayfuddin Qalawun (1294-1294 M)
Pada masa pemerintahannya
Qalawun mengembangkan administrasi pemerintahan, perluasan hubungan luar negeri
untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam dijalur perdagangan Internasional.
Sultan Qalawun juga berhasil mewariskan tahtanya kepada anaknya berkat
keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi
kepentingan pribadinya.
7).
Nashir
al-Din Muhammad bin Qalawun
Nashir Muhammad memegang tampuk
pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta. Pertama, ia
digulingkan oleh Katbuga Al-Mashur di usia 9 tahun sehingga kekuasaan dipegang
oleh Sultan Lajin, namun karena Lajin tidak mendapat dukungan dari rakyat ia
diangkat kembali tahun 1309 M. Kedua, dia turun tahta ketika Bani Baybars
mengambil alih dan menjadi sultan. Namun Sultan Nashir diangkat kembali karena
mendapat dukungan dari para Mamluk di Syam dan rakyat pada umumnya sampai akhir
hayatna setelah bekuasa selama 31 tahun (1341 M).
Setelah Bani Qalawun tampuk
pemeritahan dipimpin oleh keturunan Muhammad hingga Sembilan Sultan yang semuanya
hanya simbol dan tidak berpengaruh pada masakat serta tidak memiliki kebijakan
apapun sampai Sultan yang terakhir dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Asyraf
bin Sa’ban (1388 M) yang digulingkan oleh Sultan Barquq yang merupakan cikal
bakal berdirinya Dinasti Mamluk Burji.
MAMLUK
BURJI (1389-1517 M)
1).
Al-Zahir
Barquq (1389-1398 M)
Sebenarnya tidak ada perbedaan
pemerintahan antara Dinasti Mamluk Bahri dan Mamluk Burji, baik dari status
para sultan yang dimerdekakan maupun dri sistem pemerintahan yang oligarki.
Perbedaannya hana terletak pada suksesi pemerintahan Mamluk Bahri lebih ke
system hereditary sedangkan pada masa
Mamluk Burji condong ke perang saudara dan huru-hara.
2).
An-Nashr
Farj bin Barquq (1398-1405 M)
Pada masa ini hubungan antara
orang-orang Mamluk dan Mongol tidak lebih baik dari sebelumnya, terutama Timur
Lenk menyerbu Aleppo, mengalahkan
Hamah, Edessa dan Baalbak. Pada Maret 1401, Damascus jatuh ketangannya dan
sultan Mamluk dipaksa untuk mengubah kebijaksanaan terhadap Ilkhan Mongol di
Persia dan diadakan perjanjian perdamaian.
3).
Al-Muayyad
Syaikh (1412-1421 M)
Muayyad
adalah seorang yang pemberani, bijaksana dan merupakan administrator ulung. Dia
adalah orang yang sholeh dan ascetic. Dia juga merupakan seorang penyair, ahli
musik dan pelindung ilmu pengetahuan. Masjidnya yang terkenal masih menjadi
saksi namanya, berdiri tegak dekat pintu gerbang Zawila (Zawila gate) di Cairo.[16]
4).
Al-Asyraf
Qaytabay (1467-1495 M)
Pada masa ini terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh para amir Mamluk di wilayah Sam dan Aleppo dan gerakan pengacau keamanan
dari orang Arab, selain itu Turki Usmani juga menyerang wilayah Mamluk sehingga
kejadian ini merupakan awal mula terjadinya permusuhan antara Dinasti Mamluk
dengan Turki Usmani.
5).
Al-Asyraf
Qanshuh Al-Ghawri (1500-1516 M)
Menuju masa berakhirnya, pemerintahan Mamluk terjadi
kegocangan dalam negeri berupa Korupsi dan keuangan Negara semakin melemah.
Untuk mengatasi masalah ini Qanshuh membebani rakyat dengan pajak yang
memberatkan mereka dan menyebarkan uang palsu. Keadaan semakin parah dimana
Sultan tidak dapat membayar para tentara secara tidak langsung merupakan
penyebab kekalahannya melawan Turki Ottoman pada tahun 1517 M. Tanggal 24
Agustus 1516 M terjadi perang Marj Dabig (padang rumput Dabig) dengan jelas di
utara Aleppo yang menewaskan Sultan Qanshuh Al-Ghawri. Sejak saat itulah,
Dinasti Mamluk dibawah baying-bayang pasukan tentara Turki Ottoman.
6).
Al-Asyraf
Tumanbay (1516-1517 M)
Tumanbay adalah Sultan Mamluk terakhir, ia adalah
seorang yang gigih. Namun ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk
Sehingga ia harus menghadapi pasukan Turki Utsmani sendiri dalam perang
Ridaniyya. Akhirnya, Tumanbay kalah ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas
bantuan beberapa Amir Mamluk dan kemudian digantung disalah satu gerbang kota
Kairo, Bab Al-Zuwaillah pada tahun 1517 M. Sejak saat itu berakhirlah masa
pemeritahan Dinasti Mamluk dan dimulailah masa pemerintahan Turki Utsmani di
Mesir dan Syam.
Peradaban
pada Masa Dinasti Mamluk
a). Dalam
bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Perancis dan
Italia melalui perluasaan jalur perdagangan yang dirilis oleh Dinasti
Fatimiyah.
b). Dalam
bidang ilmu pengetahuan, Mesir merupakan tempat pelarian ilmuan-ilmuan asal
Bagdad dari serangan Mongol. Sehingga banyak ilmu serta ilmuan yang berkembang
di Mesir seperti: sejarah ( Ibn Kaldun, Ibn Khalikan dan Ibn Taghribardi ),
kedokteran ( Abu Al-Hasan Al-Nafis, Abd Al-Mun’im Al-Dimyati, Al-Razi ),
matematika ( Abu Al-Faraj, Al-Ibry ), astronomi (Nashir Al-Din Al-Tusi ) dan
ilmu agama ( Ibn Hajat Al-Asqalani ).
c). Dalam
bidang seni, sultan-sultan Mamluk sangat tertarik untuk mendirikan
masjid-masjid besar dengan batu-batu besar. Maka sejak itu industry batu pahat
atau ukir tumbuh pesat dan gedung-gedung dihiasi dengan ornament atau dekorasi
terali. Berikut adalah cotoh masjid-masjid tersebut:
·
Masjid al-Dhahir
Baybars di lapangan Dhahir di Cairo (abad ke-13).
·
Masjid Sultan Qalawun
(abad ke-13).
·
Masjid Sultan Hasan
dekat benteng Cairo.
Selain
itu gedung –gedung yang didirikan sutan-sultan Mamluk ada yang dipengaruhi
Style Bzantine yang mereka dapat dari Syria contohnya:
·
Masjid al-Nashir
Muhammad (abad ke-13 s.d 14 ).
·
Masjid Sultan
Quayitabay dan makamnya (abad ke-15).
·
Masjid Sultan Baybars
(abad ke-16).
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Islamic and History Culture from 632-1968, Terjemah D.Human, Get. I.
Yogyakarta: Kota Kembang.
Sulaiman, Rusydi. 2014. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syaefudin, Machfud, dkk. 2013. Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Raja raja turki usmani: http://failamahfiroh.blogspot.co.id/2015/04/peradaban-islam-masa-turki-usmani.html
[1] Syi’ah Ismailiyah adalah salah satu faksi dalam Syi’ah al-Istna
Asariyah yang mengakui Ismail bin Ja’far
Shodiq sebagai imam ke tujuh setelah Imam Ja’far Shodiq. Ismailiyah
berpendapat bahwa kematian Ismail (W 762 M) beberapa tahun sebelum Ja’far (W
765 M) tidak menghilangkan haknya sebagai Imam karena telah dibaiat sebelum
kematiannya.Setelah kematian Imam Ja’far mereka mengangkat Muhammad bin Ismail
sebagai pengantinya. (Sahrostani,t.t:56)
[2] Artinya: Hujjah Allah telah datang.
[3] Artinya: Pemecah belah musuh-musuh Allah.
[4] Artinya : Lembaga pengajaran dan pengembangan ilmu astronomi dan
kedokteran.
[5] Artinya : Lembaga yang mengkoleksi jutaan buku dalam berbagai
disiplin ilmu.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968,
Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.287.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968,
Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.292.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968,
Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.294.
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.237.
[10] Mamluk Bahri adalah para
budak belian yang di tempatkan di pulau Raudhah
di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan, mereka juga
disebut para budak laut.
[11] Mamluk Burji adalah para budak belian yang ditempatkan di benteng
yang mempunyai menara (buruj) atau mereka sering disebut budak benteng.
[12] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.236.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic
and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota
Kembang,1989),hlm.316.
[14] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.237.
[15] Tempat berkuasanna orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di
Anatolia.
[16] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic
and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota
Kembang,1989),hlm.321.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar