Selasa, 15 Desember 2015

DINASTI FATIMIYAH, AYYUBIAH, DAN MAMLUK

BAB  I
PENDAHULUAN
A.       LATAR BELAKANG
Secara umum munculnya peradaban dan kebudayaan Islam telah muncul sejak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami perkembangan pada masa dinasti Umayah (661-750 M) dan mengalami puncak kejayaan pada masa dinasti Abasiyah (750 s.d Pertengahan Abad ke-11 M).
Akan tetapi di kemudian hari persoalan-persoalan politik muncul dan terjadi perselisihan sehingga menyebabkan keruntuhan Dinasti Abasiyah. Hal ini memicu banyak dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad dan sesuai dengan kebangsaan masing-masing mendirikan sebuah Dinasti baru yang Independen. Selain itu banyak dinasti-dinasti kecil berpeluang untuk berkembang. Misalnya : Dinasti Fatimiyah, Dinasti Ayyubiah dan Dinasti Mamluk.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Fatimiyah ?
2.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Ayyubiah ?
3.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Mamluk ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.       DINASTI  FATIMIYAH
Kelahiran Daulah Fatimiyah bermula dari gerakan keagamaan yang dikembangkan oleh kelompok Syi’ah Ismailiyah. Setelah Imam Ismail Wafat pada tahun 762 M kelompok ini melakukan misi politis melaui gerakan bawah tanah untuk menghindari pemberangusan kelompok Syi’ah oleh Daulah Abbasiyah.[1]
Imam Muhammad al-Mahdi sebagai pengantinya memutuskan menyembunyikan keberadaannya dan seluruh keturunannya serta mengutus para Da’i untuk menyebar luaskan faham Syi’ah. Sehingga mereka dapat menakhlukan Afrika Utara dan mendirikan Daulah Fatimiyah hal ini juga di dorong runtuhnya Daulah Aglabiyah oleh Abu Abdullah. Di Riqadah ibu kota Daulah Fatimiyyah yang dahulunya ibu kota Daulah Aglabiyah, pertama kali Daulah Fatimiyah memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka yang Independen dengan khalifah pertamanya Ubaidillah al-Mahdi.
1).    Abu Abdillah (909-910 M)
Sebenarnya Daulah Fatimiyah telah berdiri satu tahun sebelum kedatangan Ubaidillah al-Mahdi ke Riqodah. Selama satu tahun tersebut Daullah Fatimiyah dipimpin oleh Abu Abdillah dengan gelar Sayidiyah. Untuk menghormati al-Mahdi. Dalam setiap kesempatan Abu Abdillah selalu menyampaikan akan datangnya al-Mahdi contohnya dengan membuat mata uang dengan tulisan “Balaghot Hujjatullah[2] dan “Tafarrugi A’daillah[3] yang dikenal dengan mata uang Sayyidiyyah. Mata uang ini tidak hanya digunakan untuk menganti mata uang yang lama tetapi juga untuk mengumumkan bahwa di Afrika Utara telah berdiri dinasti baru.
2).    Ubaidillah al-Mahdi (910-934 M)
Nama aslinya adalah Said bin Husein as-Salmiyah mengaku putra al-Habib , cucu Imam Ismail. Ia lahir di Mukrom tahun 873/874 M dan ia menjadi khalifah pada usia ±36 tahun. Di awal pemerintahannya ia mendeklarasikan diri sebagai Imam sekaligus Amirul Mukmin dan ia berjanji untuk bersikap adil tapi tegas terhadap siapapun yang berkhianat. Janji-janji tersebut di buktikan dalam membentuk kabinet pemerintahannya dengan mengangkat orang-orang Syi’ah dan Barbar Kitami serta orang-orang Arab yang pernah menjabat saat Daulah Aghlabiyah. Namun keputusan tersebut menimbulkan ketidak sukaan dikalangan para Da’i. Selain itu Ubaidillah juga dianggap otoriter dalam penggunaan harta Negara sehingga memicu gerakan meragukan kesahihan Ubaidillah sebagai Al-Mahdi namun semua itu dapat teratasi. Selama kepemimpinannya Ubaidillah mampu menjadikan Daulah fatimiyah sebagai kerajaan yang bedaulat dan ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya serta membangun peradaban dan identitas yang berbeda dengan dinasti-dinasti sebelumnya, yaitu berupa: Mahkota yang khas, Mudhillah, cincin turun temurun, genderang dan tabuh-tabuhan.
3).    Al-Qaim Muhammad Abu Al-Qasim (934-946 M)
Dalam dua belas tahun kepemimpinan tidak banyak pencapaian yang di perolehnya karena Al-Qaim terlalu larut dalam kesedihan sepeninggal ayahnya dan ia hanya mengurung diri di istana tepatnya di Mahdiyah. Meski demikian pada masa awal pemerintahannya al-Qaim berusaha memperluas kekuasaan sampai di wilayah Afrika dan membuat pedang dan peralatan perang. Namun sayang usahanya tersebut gagal untuk yang ketiga kalinya. Pada tahun 935 ia juga berhasil menumpas perlawanan Abu Yasid seorang pemimpin Daulah Khorijiah tetapi di kemudian hari Abu Yasid dapat melarikan diri.
4).    Al-Mansur Ismail Abu Tohir (946-953 M)
Nama aslinya adalah Ismail, ia lahir di Qairuwan April 914 M. Sejak remaja ia mengalami cobaan besar karena sebagai putra mahkota ia harus dipingit. Setelah naik tahta dia memerintahkan mengirim kapal yang penuh makanan dan peralatan perang ke Sues yang saat itu sedang di kepung tentara Abu Yazid. Dalam menumpas perlawanan Abu Yazid, al-Mansur berulang kali gagal karena setiap kali tertangkap Abu Yazid dapat melarikan diri. Pada akhir Agustus 947 M, di puncak gunung Kinaah Abu Yasid dan pasukannya dapat dikepung agar seorang pun tidak bias lolos maka tempat perkemahannya dibakar. Tetapi tetap saja Abu Yazid dapat lolos namun masih bisa dikejar dan akhirnya diperjalanan ia meninggal karena luka parah. Pada bulan September 945 M ibu kota Fatimiyah dipindah dari Mahdiyah ke Mansyuriyah dan dijadikan pusat perdagangan yang secara tidak langsung membuat Dinasti Fatimiyah semakin tersohor.
5).    Al-Muiz Lidinillah (953-975 M)
Al-Muiz naik tahta pada usia belum genap 22 tahun. Pada masa pemerintahannya ia lebih berkonsentrasi dalam penakhlukan Mesir sesuai cita-cita Dinasti Fatimiyah sejak masa al-Mahdi. Untuk itu ia mempercayakan hal tersebut kepada Jauhar al-Shiqilli. Dua puluh empat dinar dan lebih dari 1000 tentara disiapkan. Pada 26 Juni 969, Jauhar masu ke kota Fustat dan menundukannya dengan damai tanpa pertumpahan darah. Langkah selanjutnya Jauhar menempatkan pusat kekuasaan di sebelah utara Fustat tepatna di kota Kairo dan mengangkat kembali para pejabat pada masa Ikhsidiyah. Al-Muiz sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan Jauhar seagai pemegang mandate di Kairo sangat memperhatikan pendidikan dan kebudayaan sehingga didirikanlah Masjid Al-Azhar pada tahun 970 M yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga pusat pendidikan.
6).    Al-Aziz Billah Nizar (975-996 M)
Nama lainnya adalah Abu Mansur Nizar al-Aziz pada masa ini Daulah Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya walaupun tidak mampu menengelamkan nama besar Daulah Abbasiah. Al-Aziz tak tanggung-tanggung ia mengalokasikan dana dua puluh juta dinar untuk meembangun Istana yang megah, ia juga mengembangkan masjid Al-Azhar sebagai Universitas, membangun pasar dengan 20.000 toko, membangun kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian, jembatan untuk mempermudah pemindahan barang dan orang, mendorong masarakat untuk menghasilkan produk industri dan seni, serta membangun kerukunan antar umat beragama.
7).    Al-Hakim Biamrillah (996-1021 M)
Al-Hakim diangkat menjadi khalifah pada usia 11 tahun kekuasaannya dibantu oleh para wasir. Pada masa kekuasaannya dia membangun Dar al-Hikmah[4], Dar al-Ilm[5] dan juga muncul Ibnu Yunus (958-1009) seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu (Zij al-Alibar al-Hakimi). Namun Al-Hakim juga dinilai penyebab runtuhnya Daulah Fatimiyah karena kebijakan-kebijakannya yang kejam dan tidak toleran. Ia membunuh para wasir dan menghancurkan beberapa gereja, kuburan suci umat Kristen serta membatasi agama lain dengan aturan bahwa Non-Muslim hanya boleh menunggang keledai dan diwajibkan menandai dirinya dengan memakai jubah hitam dan kalung salib bagi umat Nasrani serta tenggala berlonceng untuk orang Yahudi.
8).    Al-Zhahir Ismail Abu Al-Mansur (1020-1035 M)
Khalifah Al-Zhahir mencoba membangun kembali toleransi yang terkoyak. Namun usahanya sia-sia karena semakin hari kekacauan dan pertikaian antar elemen pasukan Barbar, Turki dan Pasundan semakin parah. Bahkan Bencana kelaparan terjadi hampir tujuh tahun. Akhirna, Khalifah al-Adhid (1160-1171 M) yang naik tahta pada usia sembilan tahun diturunkan paksa oleh Shalahuddin al-Ayyubi dan inilah akhir dari Daulah Fatimiyah.


Peradaban pada Masa Dinasti Fatimiyah
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu :
a).    Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b).    Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c).    Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Dar al-Hikmah (Hall of Science) dan Universitas Al–Azhar. Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
d).   Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e).    Di bidang keamanan.



B.       DINASTI AYYUBIYAH
1).    Salahudin Yusuf bin Ayyub (1174-1193 M)
Keberhasilan saladin membuat namanya tersohor di tengah-tengah bangsa Mesir. Orang-orang Mesir Syiah dan Turkomans Sunni bersatu dan memandangnya sebagai Champion (juara). Setelah wafatnya Nur al-Din, Saladin menjadi orang terpenting dan dapat mempersatukan Mesir dan Syiria, Mesopotamia dan Yaman, orang-orang Kurd dan Turkoman juga ikut bergabung dengan pasukan perang Saladin. Saladin mendirikan benteng Cairo sebagai pusat pemerintahan dan kubu militer yang sanggup menangkis serangan-serangan dari luar. Ia juga berencana menghubungkannya dengan perbentengan Cairo kuno pada Zaman Fatimiyah. Namun sayang rencana ini baru dapat diselesaikan setelah Saladin Wafat.
Periode Palestina (1186-1193 M) digunakan seluruhnya untuk perang suci melawan orang-orang Salib. Ketika Reginald, menguasai benteng karak yang dapat ditahan serangan di pantai Hijaz, mengepung kapal-kapal jama’ah haji muslim dan bermaksud untuk menghancurkan ka’bah lalu armada mesir memburunya sehingga terjadi perjanjian damai antar keduana. Akan tetapi Reginald mengingkari janji dengan menerang kafilah-kafilah pedagang yang melewati dekat Bentengnya. Maka Saladin menyerang mereka dan menghancurkan pasukan Salib di Hittin dekat Tiberias tahun 1187 M. Kemudian Saladin dapat menguasai Palestina, Acre (Akka), Nablus, Ramleh, Caesaria, Jaffa, Ascolon, Beirut dan Jerussalem.
Dengan memimpin 100.000 orang Fedrik Barborosa dari Jerman berjalan menuju Palestina menembus Asia Minor namun beberapa pasukaannya tenggelam diperjalanan sehingga jumlah pasukannya berkurang. Pasukan-pasukan salib Acre dibantu oleh pasukan-pasukan Philip II, Rajs Perancis dan Ricard dari Inggris yang merampas pulau Cyprus dalam perjalananna. Perang Salib ketiga ini menjadi kegagalan kembali karena terjadi perselisihan antara pemimpin-pemimpin orang Salib. Philip II meninggalkan Richard untuk melanjutkan peperangan melawan umat Islam. Melihat semangat dan keberanian Richard para musuh kagum dan memberinya gelar “The Lion Heart”. Akhir dari perang suci ini adalah Perjanjian Ramleh pada tahun 1192 yang isinya sebagai berikut:
a).    Jerusalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
b).    Orang-orang Salib akan mempertahankan partai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
c).    Umat Islam akan mengembalikan relics Kristen kepada umat Kristen.
Sebelum perang di Hittin tahun 1187 M tidak ada satu inchi pun dari Palestina sebelah barat Yordan yang menjadi bagian dari kekuasaan Khalifah umat Islam. Setelah perjanjian Ramleh seluruh daerah merupakan wilayah kekuasaan umat Islam kecuali jalur sempit pantai dari Tyre sampai ke Jaffa.[6]

2).    Al-Adil I Ahmad bin Ayyub (1199-1218 M)
Adil adalah saudara Saladin. Setelah terjadinya perang Salib ketiga,orang-orang Salib menyadari bahwa Mesir adalah bagian yang sangat penting dari negara-negara Arab untuk memudahkan jatuhnya Palestina ketangan mereka. Sehingga Raja Palestina (Jeans di Brienne) bersekongkol dengan Jerman dan pasukan Salib lainnya untuk menyerang Dinasti Ayyubiyah. Strategi mereka di mulai dari menduduki Daimeta yang merupakan tempat paling strategis untuk bertahan karena dibentengi dengan tembok rangkap tiga dan dikelilingi oleh air sungai Nil yang merupakan benteng alami, selain itu ditengah pulau terdapat menara besar. Dengan serbuan yang sangat ganas umat Islam di paksa untuk menyerah pada tahun 1218 sehingga Daimeta jatuh ketangan orang-orang Salib. Pada Tahun yang sama al-Adil wafat beerapa orang berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan penderitaannya yang mendalam akan hilangnya Daimeta dan benteng pertahanan.
3).    Al-Kamil I Muhammad bin Ahmad (1218-1238 M)
Al-Kamil diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir orang-orang Salib dari Daimeta. Langkah awalnya adalah dengan mengirim tentara ke sungai Nil  untuk menghalangi kapal orang-orang Salib namun sayang tentaranya dapat dimusnahkan musuh, lalu ia juga menenggelamkan kapal-kapal untuk memblokir pelayaran mereka tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil. Permasalahan ini memaksa al-Kamil untuk meminta perjanjian damai dengan menawarkan Kerajaan Jerusalem sebagai ganti Daimeta. Namun permintaannya ditolak oleh orang-orang Salib.
Lalu ia dengan strategi barunya mendirikan perbentengan kuat di sebelah selatan Daimeta yang akhirnya menjadi kota Mansurah. Angkatan perang orang-orang Salib terkena bencana banjir dari sungai Nil, demam dan kelaparan menimpa mereka. Sedangkan pasukan-pasukan Sultan Ayubiyah sudah mengepung mereka dari berbagai penjuru. Dengan terpaksa orang-orang Salib menyerah dan meninggalkan Daimeta sebagai perjanjian perdamaian.
Sultan Ayubiyah Kamil mengalami konflik dengan saudaranya al-M’azzam pemimpin Damascus. Ia merasa bahwa al-Mu’azzam adalah musuh hebat yang ingin memecatnya dari singgasananya. Maka ia bersekutu dengan Frederick dengan menawarkan Kerajaan Jerussalem sebagai imbalan atas bantuaannya. Pada waktu itu Al-Mu’azzam meninggal dunia dan pengertian timbal balik antar dua Raja membawa kepada perjanjian pada tahun 1229 M, yang isinya sebagai berikut:
a)      Jerussalem bersama dengan Bethlehem, Nazaret dan route haji ke Jaffa dan Acre akan menjadi kekuasaan absolute kaisar dengan perkecualian bahwa area suci umat Islam di Jerussalem memagari masjid Umar akan menjadi milik terbatas bagi umat Islam.
b)      Tawanan-tawanan Kristen harus di bebaskan.
c)      Kaisar harus melindungi Sultan dari serangan musuh-musuhnya.
d)     Perjanjian ini berlaku selama 2 tahun.
Perjanjian ini menimbulkan amarah bagi umat Islam dan umat Kristen karena Kota Suci sudah hilang dari tangan umat Islam dan Kerajaan Latin Kuno disebelah utara Syiria masih berada di tangan umat Islam. Meski demikian perjanjian tersebut dilakukan dengan jujur oleh kedua belah pihak. Setelah perjanjian tersebut selesai Kamil mengangkat saudaranya al-Ashraf sebagai raja di Damascus dan setelah wafatnya al-Ashraf seluruh Mesir dibawah kekuasaan Kamil. Dia mengembangkan sistem Irigasi, memperluas terusan-terusan, mendirikan benteng Cairo, mendirikan Dairul Hadits, sekolah tinggi Kamiliyah, mendirikan tanggul-tanggul dan dam untuk meyakinkan keselamatan para plancong sehingga Mesir mengalami Kemajuan yang sangat pesat. Ibn Khlallikan member gambaran tentang dia, “al-Kamil mencintai Ilmu pengetahuan masyarakat sarjana, dia adalah seorang muslim bijaksana, soleh dan merupakan pelindung besar bagi para sarjana”.[7]
4).    Al-Adil II Muhammad bin Muhamad (1238-1240 M)
Setelah Kamil wafat pada tahun 1238 M, pemuka-pemuka Dinasti Ayyubiyah mengangkat anakna, Abu Bakar sebagai raja dengan gelar Adil II namun saudaranya Salih Ayub menentang keputusan tersebut, sehingga terjadilah perebutan kekuasaan antar keduanya. Pemerintahan Adill II hampir tidak ada 3 tahun karena budak-budaknya bersekongkol dengan Salih Ayyub untuk melakukan pemberontakan.
5).    Malik Saleh Najmuddin Ayyub bin Muhammad (1240-1249 M)
Selama pemerintahan Salih Ayyub, Louis IX Raja Perancis, mengirimkan ekspedisi perang suci ke Mesir dan berhasil menundukan Daimeta, serta menempatkan tentaranya sejauh 4 mil dari Mansurah untuk merampas Istana. Pada saat itu Salih Ayyub sedang sakit tetapi tidak mempengruhi semangat para pasukannya utuk mempertahankan Istana. Pasukan Mamluk Babar yang sudah dilatih Sultan mengejar musuh dengan hati-hati melalui lorong-lorong kota Mansurah, jendela-jendela, atap-atap rumah yang sudah ditempati pemanah menyebabkan kekalahan total tentara Louis IX. Ketika para Mamluk menuju ke Mansurah Sultan Salih Ayyub wafat dan isterinya Syajar al-Durr menyembunyikan berita kematian Sultan agar pasukannya tidak terpengaruh semangatnya dalam perang. Syajar al-Durr dan pegawai-pegawai pemerintahan mengatur negara dengan mengatas namakan “Pemimpin yang Sakit”.
6).    Muassham Tauran bin Saleh (1249-1249)
Turan Shah adalah anak tertua Salih Ayyub dan putra Mahkota yang dipersiapkan sebagai Raja berikutnya. Pada saat ayahnya meninggal ia sedang berada di benteng Kiva di Diyar Bark. Ia merampas 21 perahu Perancis, menerap amunisi-amunisi dan perlengkapan perang karena pasukan perang suci dan pasukan Perancis telah dikalahkan. Louis dipaksa mundur ke Daimeta dan Dia menawarkan untuk menyerahkan Daimeta dengan ganti Kerajaan Jerussalem, janji yang sama sudah ditawarkan oleh Sultan Kamil 30 tahun silam namun kini umat Islam menolak tawaran tersebut. Kemudian Louis dan pasukannya mundur tapi diburu oleh pasukan Islam sehinnga Louis dan pasukannya dapat tertangkap. Louis tidak lama dibebaskan setelah memsbuat jaminan untuk menyerahkan Daimeta dan membayar tebusan 100.000 potong Emas.[8]
Setelah Turan Shah tiba di Istana untuk berkuasa, ia dibunuh oleh pengikut Syajar al-Durr[9]. Syajar al-Durr merupakan seorang budak belian yang berasal dari Turki yang berambisi untuk menjadi Penguasa di Mesir dan menganti mengangkat derajat budak belian (Mamluk).
7).    Syajaratud Dur Dayang Malik Saleh (1250 M)
Atas dukungan pemuka-pemuka Mamluk, Syajar dapat berkuasa penuh sebagai Sultan selama 80 hari. Kekuasaannya berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah Abasiyah di Baghdad bahwa yang memerintah di Mesir harus seorang pria bukan wanita. Akhirnya dengan berat hati Syajar memenuhi perintah tersebut agar dapat memerintah di balik layar dan memutuskan untuk menikah dengan Izzudi Aybak seorang panglima tertinggi angkatan perang Mesir yang merupakan salah seorang Mamluk almarhum suaminya. Dengan adanya pemerintahan Syajar secara tidak langsung merupakan proses beralihnya Daulah Ayyubiyah menjadi Daulah Mamluk.

Peradaban pada Masa Dinasti Ayyubiyah
a).    Bidang Arsitektur dan Pendidikan, penguasa Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
b).    Bidang Filsafat dan Keilmuan, bukti konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
c).    Bidang Industri, dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.
d).   Bidang Perdagangan, bidang ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
e).    Bidang Militer, selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
C.       DINASTI MAMLUK
Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Pada Mamluk Dinasti Ayyubiyah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa.Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua priode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahriyah[10] (1250-1389 M), yakni yang berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Golongan Kedua dinamakan Mamluk Burji/Barjiyah[11] (1389-1517 M), yakni yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[12]

MAMLUK BAHRI (1250-1389 M)
1).    Syajar al-Durr (1250 M)
Berdirinya Dinasti Mamluk berawal dari ambisi seorang mamluk wanita yang bernama Syajar al-Durr  akni istri Sultan Salih untuk menjadi seorang Sultan dengan menggunakan berbagai macam konspirasi. Dia tercatat sebagai satu-satunya penguasa wanita muslim dikawasan Afrika Utara dan Asia Barat, sekaligus diabadikan namanya dalam kepingan mata uang dan shalat Jum’at.
Dalam pemerintahannya Syajar selalu memberi semangat kepada panglima-panglima pemerintahan dengan memberi mereka tanah-tanah pinjaman dan mengurangi pajak-pajak untuk mengambil hati rakatnya. Kecakapannya yang luar biasa tersebut membuktikan bahwa seorang wanita dapat memikul tanggung jawab Negara meskipun tradisi-tradisi Islam tidak mendukung prinsip seperti ini. Sehingga Ia memutuskan menikah dengan Izzudin Aybak.
2).    Izzudin Aybak (1250-1257 M)
Ketika Aybak menjadi Sultan terdapat kekacauan sebagai akibat dari persaingan para mamluk. Al-Malik al-Nasir (pemimpin Syria) menggunakan kesempatan ini dan berjalan dari Damascus dengan memimpin pasukannya. Namun tentaranya kalah sehingga Syiria dan Mesir dapat dipersatukan. Walau demikian, Aybak menimbulkan kemarahan pada diri Syajar al-Durr dengan meminang seorang pemimpin perempuan dari Mosul. Syajar al-Durr membentuk konspirasi untuk melawan dan membunuhnya pada tahun 1257 M.
3).    Nur al-Din ‘Ali bin Aybak (1257-1258 M)
Setelah menggantikan ayahnya Nur al-Din membujuk budak belian wanita untuk balas dendam atas kematian ayahnya dengan membunuh Syajar al-Durr. Pada tahun 1258 M, kekalifahan Abbasiah dihapuskan, Baghdad di hancurkan oleh orang-orang Mongol dibawah pimpinan Hulagu dan khalifah Abbasiyah terakhir dibunuh. Ketika berita ini sampai ke Baghdad, doctor-doktor ahli ilmu ketuhanan dan hokum (ulama) serta panglima-panglima pasukan mengadakan rapat yang didalamnya memutuskan untuk membatalkan sumpah setia mereka kepada Nur al-Din dan memproklamirkan seorang Mamluk bernama Qutuz sebagai sultan Mesir.[13]
4).    Al-Muzhafir Syaifuddin Quthuz (1258-1259 M)
Dengan Sultan baru ini Dinasti mamluk mulai mengalami kemajuan dengan mengalahkan sang penakluk bangsa Mongol yakni Hulagu didalam peperangan terkenal Ain Jalutu pada tanggal 3 September 1260 M, Kemenangan ini berkat seorang panglima Mamluk, Baybars yang mengawasi gerak-gerik bangsa Mongol yang akhirnya Baybars menjadi Sultan Mesir .
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongol. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan. Setelah kemenangan ini, nilai tambah terhadap Dinati Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam dibawah naungan Sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi.[14]
5).    Az-Zahahir Baybars Al-Bandakdari (1259-1277 M)
Setelah Baybars naik tahta Dinaasti Mamluk semakin kuat, bahkan Baybars memerintah selama 17 tahun. Kejayaan yang di raih Baybars adalah memporak porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia[15], serta menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan. Selain itu Baybars juga bertujuan mebuat pemerintahan dengan system hereditary (turun-temurun) dengan memproklamirkan anaknya al Sa’id sebagai Putra Mahkota dan menikahkannya dengan anak perempuan Qalawun, Panglima Besar Mamluk. Orang-orang Mamluk tidak suka dengan system hereditary karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai prioritas diatas yang lainnya kecuali dia memiliki kecakapan militer. Ketika Malik al-Sa’id (1277-1290 M) turun tahta dan digantikan oleh saudaranya ‘Adil Badruddin bin Baybars (1290-1294 M), Qalawun menggulingkannya sehingga kesultanan dipindahkan dari keluarga Baybars ke keluarga Qalawun.
6).    Al-Mansur Sayfuddin Qalawun (1294-1294 M)
Pada masa pemerintahannya Qalawun mengembangkan administrasi pemerintahan, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam dijalur perdagangan Internasional. Sultan Qalawun juga berhasil mewariskan tahtanya kepada anaknya berkat keberadaan 12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan pribadinya.
7).    Nashir al-Din Muhammad bin Qalawun
Nashir Muhammad memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta. Pertama, ia digulingkan oleh Katbuga Al-Mashur di usia 9 tahun sehingga kekuasaan dipegang oleh Sultan Lajin, namun karena Lajin tidak mendapat dukungan dari rakyat ia diangkat kembali tahun 1309 M. Kedua, dia turun tahta ketika Bani Baybars mengambil alih dan menjadi sultan. Namun Sultan Nashir diangkat kembali karena mendapat dukungan dari para Mamluk di Syam dan rakyat pada umumnya sampai akhir hayatna setelah bekuasa selama 31 tahun (1341 M).
Setelah Bani Qalawun tampuk pemeritahan dipimpin oleh keturunan Muhammad hingga Sembilan Sultan yang semuanya hanya simbol dan tidak berpengaruh pada masakat serta tidak memiliki kebijakan apapun sampai Sultan yang terakhir dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj Asyraf bin Sa’ban (1388 M) yang digulingkan oleh Sultan Barquq yang merupakan cikal bakal berdirinya Dinasti Mamluk Burji.

MAMLUK BURJI (1389-1517 M)
1).    Al-Zahir Barquq (1389-1398 M)
Sebenarnya tidak ada perbedaan pemerintahan antara Dinasti Mamluk Bahri dan Mamluk Burji, baik dari status para sultan yang dimerdekakan maupun dri sistem pemerintahan yang oligarki. Perbedaannya hana terletak pada suksesi pemerintahan Mamluk Bahri lebih ke system hereditary sedangkan pada masa Mamluk Burji condong ke perang saudara dan huru-hara.
2).    An-Nashr Farj bin Barquq (1398-1405 M)
Pada masa ini hubungan antara orang-orang Mamluk dan Mongol tidak lebih baik dari sebelumnya, terutama Timur Lenk menyerbu Aleppo, mengalahkan Hamah, Edessa dan Baalbak. Pada Maret 1401, Damascus jatuh ketangannya dan sultan Mamluk dipaksa untuk mengubah kebijaksanaan terhadap Ilkhan Mongol di Persia dan diadakan perjanjian perdamaian.

3).    Al-Muayyad Syaikh (1412-1421 M)
Muayyad adalah seorang yang pemberani, bijaksana dan merupakan administrator ulung. Dia adalah orang yang sholeh dan ascetic. Dia juga merupakan seorang penyair, ahli musik dan pelindung ilmu pengetahuan. Masjidnya yang terkenal masih menjadi saksi namanya, berdiri tegak dekat pintu gerbang Zawila (Zawila gate) di Cairo.[16]
4).    Al-Asyraf Qaytabay (1467-1495 M)
Pada masa ini terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Sam dan Aleppo dan gerakan pengacau keamanan dari orang Arab, selain itu Turki Usmani juga menyerang wilayah Mamluk sehingga kejadian ini merupakan awal mula terjadinya permusuhan antara Dinasti Mamluk dengan Turki Usmani.
5).    Al-Asyraf Qanshuh Al-Ghawri (1500-1516 M)
Menuju masa berakhirnya, pemerintahan Mamluk terjadi kegocangan dalam negeri berupa Korupsi dan keuangan Negara semakin melemah. Untuk mengatasi masalah ini Qanshuh membebani rakyat dengan pajak yang memberatkan mereka dan menyebarkan uang palsu. Keadaan semakin parah dimana Sultan tidak dapat membayar para tentara secara tidak langsung merupakan penyebab kekalahannya melawan Turki Ottoman pada tahun 1517 M. Tanggal 24 Agustus 1516 M terjadi perang Marj Dabig (padang rumput Dabig) dengan jelas di utara Aleppo yang menewaskan Sultan Qanshuh Al-Ghawri. Sejak saat itulah, Dinasti Mamluk dibawah baying-bayang pasukan tentara Turki Ottoman.
6).    Al-Asyraf Tumanbay (1516-1517 M)
Tumanbay adalah Sultan Mamluk terakhir, ia adalah seorang yang gigih. Namun ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk Sehingga ia harus menghadapi pasukan Turki Utsmani sendiri dalam perang Ridaniyya. Akhirnya, Tumanbay kalah ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa Amir Mamluk dan kemudian digantung disalah satu gerbang kota Kairo, Bab Al-Zuwaillah pada tahun 1517 M. Sejak saat itu berakhirlah masa pemeritahan Dinasti Mamluk dan dimulailah masa pemerintahan Turki Utsmani di Mesir dan Syam.

Peradaban pada Masa Dinasti Mamluk
a).    Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasaan jalur perdagangan yang dirilis oleh Dinasti Fatimiyah.
b).    Dalam bidang ilmu pengetahuan, Mesir merupakan tempat pelarian ilmuan-ilmuan asal Bagdad dari serangan Mongol. Sehingga banyak ilmu serta ilmuan yang berkembang di Mesir seperti: sejarah ( Ibn Kaldun, Ibn Khalikan dan Ibn Taghribardi ), kedokteran ( Abu Al-Hasan Al-Nafis, Abd Al-Mun’im Al-Dimyati, Al-Razi ), matematika ( Abu Al-Faraj, Al-Ibry ), astronomi (Nashir Al-Din Al-Tusi ) dan ilmu agama ( Ibn Hajat Al-Asqalani ).
c).    Dalam bidang seni, sultan-sultan Mamluk sangat tertarik untuk mendirikan masjid-masjid besar dengan batu-batu besar. Maka sejak itu industry batu pahat atau ukir tumbuh pesat dan gedung-gedung dihiasi dengan ornament atau dekorasi terali. Berikut adalah cotoh masjid-masjid tersebut:
·         Masjid al-Dhahir Baybars di lapangan Dhahir di Cairo (abad ke-13).
·         Masjid Sultan Qalawun (abad ke-13).
·         Masjid Sultan Hasan dekat benteng Cairo.
Selain itu gedung –gedung yang didirikan sutan-sultan Mamluk ada yang dipengaruhi Style Bzantine yang mereka dapat dari Syria contohnya:
·         Masjid al-Nashir Muhammad (abad ke-13 s.d 14 ).
·         Masjid Sultan Quayitabay dan makamnya (abad ke-15).
·         Masjid Sultan Baybars (abad ke-16).



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Islamic and History Culture from 632-1968, Terjemah D.Human, Get. I. Yogyakarta: Kota Kembang.
Sulaiman, Rusydi. 2014. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syaefudin, Machfud, dkk. 2013. Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.






[1] Syi’ah Ismailiyah adalah salah satu faksi dalam Syi’ah al-Istna Asariyah yang mengakui Ismail bin Ja’far  Shodiq sebagai imam ke tujuh setelah Imam Ja’far Shodiq. Ismailiyah berpendapat bahwa kematian Ismail (W 762 M) beberapa tahun sebelum Ja’far (W 765 M) tidak menghilangkan haknya sebagai Imam karena telah dibaiat sebelum kematiannya.Setelah kematian Imam Ja’far mereka mengangkat Muhammad bin Ismail sebagai pengantinya. (Sahrostani,t.t:56)
[2] Artinya: Hujjah Allah telah datang.
[3] Artinya: Pemecah belah musuh-musuh Allah.
[4] Artinya : Lembaga pengajaran dan pengembangan ilmu astronomi dan kedokteran.
[5] Artinya : Lembaga yang mengkoleksi jutaan buku dalam berbagai disiplin ilmu.
[6]  Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.287.
[7]  Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.292.
[8]  Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.294.
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.237.
[10] Mamluk Bahri adalah para budak belian yang di tempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan, mereka juga disebut para budak laut.
[11] Mamluk Burji adalah para budak belian yang ditempatkan di benteng yang mempunyai menara (buruj) atau mereka sering disebut budak benteng.
[12] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.236.

[13] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.316.
[14] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.237.
[15] Tempat berkuasanna orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
[16] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic and History Cultur From 632-1968, Terjemah D.Humam,Cet.I (Yogyakarta; Kota Kembang,1989),hlm.321.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar